1.
Paradigma
Penelitian
Metodologi penelitian
adalah totalitas cara yang dipakai peneliti untuk menemukan kebenaran ilmiah.
Kebenaran adalah kebenaran. Cara adalah cara. Tetapi seringkali peneliti
mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap kebenaran dibandingkan dengan
penelitian lain. Jika cara pandang terhadap kebenaran ini di perbeda, maka
metodologi yang digunakan kemungkinan berbeda. Inilah yang disebut dengan
paradigma.
Paradima adalah cara
pandang atau melihat sesuatu yang hidup dalam diri seseorang dan mempengaruhi
orang tersebut dalam memandang realitas sekitarnya. Paradigma penelitian
merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti
terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori
yang dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin
ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Paradigma
penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta
kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian (Guba
& Lincoln, 1988: 89-115).
Mengacu pada definisi
paradigma tersebut, terungkap bahwa paradigma ilmu itu amat beragam, hal ini
didasarkan pada pandangan dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing
ilmuwan berbeda-beda. Dimana, masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki
cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran
sendiri tentang kebenaran. Perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar
berpikir oleh para ilmuwan tersebut, kemudian berakibat pada perbedaan
paradigma yang dianut, baik menyangkut tentang hakikat apa yang harus
dipelajari, obyek yang diamati, atau metode yang digunakan. Perbedaan paradigma
yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada perbedaan skema
konseptual penelitian, melainkan juga pada pendekatan yang melandasi semua
proses dan kegiatan penelitian.
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan
kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma
adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of
thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs (1980), sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang
apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain
dikemukakan oleh George Ritzer, dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan
yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang
semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi,
ontologi, dan metodologi.
1. Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu,
dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan.
2. Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas.
Dari
definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi
paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang
berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa
yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4)
aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang
diperoleh.
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear, karena itu
tidak benar kalau dikatakan perkembangan ilmu itu bersifat kumulatif. Penolakan
Kuhn didasarkan pada hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri
yang ternyata sangat berkait dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul
pada periode tertentu. Bahkan bisa terjadi dalam satu waktu, beberapa metode
pengetahuan berkembang bersamaan dan masing-masing mengembangkan disiplin
keilmuan yang sama dengan paradigma yang berlainan. Perbedaan paradigma dalam
mengembangkan pengetahuan, menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang
berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan
berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya
pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Konsekwensi terjauh
dari perbedaan mode of thought ini adalah munculnya keragaman skema
konseptual pengembangan pengetahuan yang kemudian berakibat pula pada keragaman
teori-teori yang dihasilkan.
Mengacu pada Kuhn, dapat dikatakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam.
Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran
filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan,
bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda
dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda dengan Positivisme, Marxisme dan
seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang
sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang
kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan
dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang
dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; (1)
pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat
apa yang harus dipelajari sudah berbeda; (2) pandangan filsafat yang berbeda
akan menghasilkan obyek yang berbeda; dan (3) karena obyek berbeda, maka metode
yang digunakan juga berbeda.
Dalam hubungannya dengna metodologi
peneltian, paradigma yang dimiliki peneliti pasti akan memperngaruhi metodologi penelitian yang akan dipillihnya. Seperti yang kita kenal dengan metodologi yang bernuansa kualitatif, kuantitatif, humanis, partikularis,
multiperspektif, positivis dan lainnya. Atau yang dikenal dengan penelitian deskriptif, eksploratoris,
eksplanatif, korelasional, kausal rasionalis, relativis dan sebagainya. Namun secara
umum, paradigma penelitian diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu penelitian
kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pendekatan kuantitatif dibangun
berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan
penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund
Husserl (1859-1926).
Pendekatan kuantitatif
merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat
positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur
metafisik dan teologik dari realitas sosial. Paradigma ini disebut juga dengan
paradigma tradisional (traditional), eksperimental (experimental),
atau empiris (empiricist). Dalam penelitian kuantitatif diyakini,
bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu
pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan
pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk
kemudian diolah oleh nalar (reason).
Sementara penelitian
dengan pendekatan kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang
menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosialatau budaya.
Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi
manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Pendekatan
kualitatif lahir dari akar filsafat aliran fenomenologi hingga terbentuk
paradigma post positivisme.
Pendekatan ini
memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu fenomena dianggap sesuatu
yang ganda (jamak). Artinya realitas yang tampak memiliki makna ganda, yang
menyebabkan terjadinya realitas tadi. McMillan dan Schumacher (2001:396)
menyebut realitas sosial dalam penelitian kualitatif ini sebagai: “…reality
as multilayer, interactive, and a shared social experience interpreted by
indviduals”.
Dengan demikian dalam
penelitian kualitatif, realitas sosial yang terjadi atau tampak, jawabannya
tidak cukup dicari sampai apa yang menyebabkan realitas tadi, tetapi dicari
sampai kepada makna dibalik terjadinya realitas sosial yang tampak. Oleh karena
itu, untuk dapat memperoleh makna dari realitas sosial yang terjadi, pada tahap
pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung dengan individu
atau kelompok yang dipilih sebagai responden atau informan yang dianggap
mengetahui atau pahami tentang entitas tertentu seperti: kejadian, orang,
proses, atau objek, berdasarkan cara pandang, persepsi, dan sistem keyakinan
yang mereka miliki. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh McMillan dan
Schumacher (2001:395), bahwa: “Interactive qualitative research is inquary
in which researhers collect data in face to face situations by interacting with
selected persons in their settings (field research). Qualitative research
describes and analyzes people’s individual and collective social actions,
beliefs, thoughts, and perceptions. The researcher interprets
phenomena in term of meanings people bring to them”.
Menurut Indiantoro
& Supomo masing-masing paradigma atau pendekatan ini mempunyai kelebihan
dan juga kelemahan, sehingga untuk menentukan pendekatan atau paradigma yang
akan digunakan dalam melakukan penelitian tergantung pada beberapa hal di
antaranya;
1.
Jika ingin melakukan suatu penelitian
yang lebih rinci yang menekankan pada aspek detail yang kritis dan menggunakan
cara studi kasus, maka pendekatan yang sebaiknya dipakai adalah paradigma
kualitatif. Jika penelitian yang dilakukan untuk mendapat kesimpulan umum dan
hasil penelitian didasarkan pada pengujian secara empiris, maka sebaiknya digunakan
paradigma kuantitatif
2.
Jika penelitian ingin menjawab pertanyaan
yang penerapannya luas dengan obyek penelitian yang banyak, maka paradigma
kuantitaif yang lebih tepat, dan jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang
mendalam dan detail khusus untuk satu obyek penelitian saja, maka pendekatan
naturalis lebih baik digunakan.
Paradigma Kuantitatif,
juga
dikenal dengan;
a. paradigma tradisional, positivis, eksperimental,
empiris
b. menekankan pada pengujian teori-teori melalui
pengukuran variabel penelitian dengan
angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik.
Paradigma Kualitatif, juga
dikenal dengan;
a. pendekatan konstruktifis, naturalistis (interpretatif),
atau perspektif postmodern.
b. menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam
kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas
KUANTITATIF
•
Realitas
bersifat obyektif dan berdimensi tunggal
•
Peneliti
independen terhadap fakta yang diteliti
•
Bebas
nilai dan tidak bias
•
Pendekatan
deduktif
•
Pengujian
teori dan analisis kuantitatif
KUALITATIF
•
Realitas
bersifat subyektif dan berdimensi banyak
•
Peneliti
berinteraksi dengan fakta yang diteliti
•
Tidak
bebas nilai dan bias
•
Pendekatan
induktif
•
Penyusunan
teori dengan analisis kualitatif
Lebih
lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai
berikut:
Paradigma Kuantitatif
|
Paradigma Kualitatif |
1.
Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam pengumpulan dan analisa data,
termasuk dalam penarikan sampel.
2.
Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu
cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu kejadian
dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari individu di dalamnya.
3.
Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang tinggi, sehingga
dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara ketat (obstrusive)
dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).
4.
Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga
peneliti tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek penelitiannya.
5.
Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk mendapatkan
kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.
6.
Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data
lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data lapangan).
7.
Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi realibilitas dan
biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).
8.
Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu
ditekankan pada pembuatan generalisasi.
9.
Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik) berupa
variabel-variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat holistik.
|
1.
Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam pengumpulan maupun
dalam proses analisisnya.
2.
Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam menangkap gejala
(fenomenologis).
3.
Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan yang bebas (tanpa
pengaturan yang ketat).
4.
Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber
data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang
“orang dalam”.
5.
Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan
menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau
hipotesis.
6.
Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai
instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu
sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan keputusan.
7.
Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang
tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau
abstrak.
8.
Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular,
sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi
otensitasnya.
9.
Fokus penelitian bersifat holistik,meliputi aspek yang cukup luas
(tidak dibatasi pada variabel tertentu).
|
2. Karakteristik
Penelitian
Penelitian adalah suatu proses untuk mencapai
(secara sistematis dan didukung oleh data) jawaban terhadap suatu pertanyaan,
penyelesaian terhadap permasalahan, atau pemahaman yang dalam terhadap suatu
fenomena. Proses tersebut, yang sering disebut sebagai metodologi
penelitian, mempunyai delapan macam karakteristik:
a. Penelitian
dimulai dengan suatu pertanyaan atau permasalahan.
b. Penelitian
memerlukan pernyataan yang jelas tentang tujuan.
c.
Penelitian mengikuti rancangan prosedur
yang spesifik.
d. Penelitian
biasanya membagi permasalahan utama menjadi sub-sub masalah yang lebihdapat
dikelola.
e.
Penelitian diarahkan oleh permasalahan,
pertanyaan, atau hipotesis penelitian yang spesifik.
f.
Penelitian menerima asumsi kritis
tertentu.
g.
Penelitian memerlukan pengumpulan dan
interpretasi data dalam upaya untuk mengatasi permasalahan yang mengawali
penelitian.
h. Penelitian
adalah, secara alamiahnya, berputar secara siklus; atau lebih tepatnya, helikal—seperti
terlihat pada gambar di bawah ini.
Sumber
Ali
Muhidin, Sambas. dkk.2010. Desain
Penelitian Kuantitatif.. Bandung: Penerbit Karya Adhika Utama.
http://polres.multiply.com/journal/item/9. (DARI: PUSAT PENELITIAN IAIN SUMATRA UTARA MEDAN) diakses 27
Agustus 2011
Irwan Prasetya.
1999. Logika dan Prosedur Penelitian.
Jakarta:STIA-LAN
Posting Komentar