Unknown

Ciputat, 18 Maret 2015

Nomor  : Istimewa      
Hal          : Surat Terbuka untuk Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kepada Yth.
Bapak Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.

Cc.
Menteri Agama Republik Indonesia
Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketua Senat Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.

Bapak Rektor yang saya hormati,

Saya sudah menerima dan membaca Surat Keputusan (SK) pemberhentian saya sebagai Dekan FAH periode 2014-2018, yang Bapak tandatangani atas nama Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 145 Tahun 2015, tertanggal 9 Maret 2015.

Jujur saya sedih! Bukan karena saya kehilangan jabatan Dekan itu, tapi karena Bapak tidak menyapa saya satu “huruf” pun terkait pemberhentian itu, baik melaui SMS, email, telpon, apalagi sapaan langsung saat saya beberapa kali menemui dan menghadap Bapak, baik untuk keperluan dinas maupun pribadi, padahal saya mendapatkan amanah jabatan ini melalui cara terhormat, terpilih secara demokratis di Senat Fakultas pada 11 Maret 2014 lalu. 

Tapi itu memang hak Bapak. Sepertinya Bapak memang sudah benar-benar tidak ingin menyapa saya terkait urusan itu, mungkin karena saya tiba-tiba menjadi “Dekan haram”, yang lahir dari Statuta UIN lama yang sudah diwafatkan keberlakuannya oleh Permenag No. 17 Tahun 2014.

Saya sepertinya juga harus mafhum, karena berdasarkan pengakuan-pengakuan pihak terkait, bukan hanya saya yang tidak disapa oleh Bapak, melainkan beberapa Dekan dan pejabat lain termasuk Direktur Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr. Azyumardi Azra yang sedemikian senior beserta jajarannya, bahkan merasa tersinggung karena tidak menerima pemberitahuan, baik melalui email, surat, telpon, atau sms, bahwa mereka akan diberhentikan, dan diganti oleh pejabat lain.

Entah Bapak tahu atau tidak, sejak awal pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Dekan, saya, dan beberapa dekan Fakultas serta Direktur Sekolah Pascasarjana sebagai pemegang otoritas manajemen di unit masing-masing tidak pernah diajak bicara sedetikpun oleh Pansel yang Bapak angkat itu. Pansel melakukan jalan pintas berkordinasi dengan wakil Dekan Bidang Administrasi Umum kami, beserta Ketua dan Sekretaris Senat Fakultas yang diangkat sebagai anggota Pansel. Sekali lagi, mungkin karena saya sudah dianggap “Dekan haram”, yang sudah diniatkan untuk dilengserkan.

Bapak Rektor,

Melalui surat ini, saya hanya ingin bertanya satu hal: bolehkah saya tahu, apa alasan pemberhentian saya? Saya yakin, informasi terkait alasan pemberhentian ini adalah bagian dari Informasi Publik, yang dilindungi oleh Undang-undang RI No. 14 Tahun 2008, karena jabatan Dekan adalah bagian dari Badan Publik, yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara, dan karenanya publik berhak tahu. Itu mengapa saya pun menulis surat ini secara terbuka, karena saya tidak sedang menyapa dengan Bapak secara pribadi.

Mengapa saya ingin bertanya, Pak? karena seusai dilantik pada 14 April 2014, dan sesuai dengan amanat dalam SK yang ditandatangani oleh Rektor atas nama Menteri Agama RI Nomor UN.01/R/HK.005/154/2014, saya telah mencanangkan tonggak capaian (milestone) Fakultas Adab dan Humaniora untuk masa jabatan 4 (empat) tahun ke depan dengan rumusan visi “Menuju e-Faculty Berbasis Riset dan Berkarakter Islam Nusantara”, dan dengan prioritas tahunan yang jelas serta terukur. Capaian tahun pertama (2014) sudah kami buktikan dan mendapat apresiasi dari keluarga besar civitas akademika FAH.

Bapak Rektor, hingga saya menulis surat ini, rumusan visi, milestone, prioritas tahunan, serta turunan semua program dan kegiatan di tahun kedua ini masih tertempel dalam ukuran besar di dinding lantai 5 FAH, agar seluruh civitas akademika faham, mau dibawa kemana Fakultas ini dalam empat tahun ke depan. Saya tidak tahu, akan berapa lama konsep pengembangan FAH itu tersosialisasi di sana, karena hal itu tergantung dari “selera” Dekan baru yang Bapak angkat.

Sekali-sekali, Bapak boleh mampir ke gedung kami. Sejak Agustus 2014 lalu, kantor FAH sudah menyatu dengan konsep Manajemen Satu Lantai, Pak, sehingga pelayanan ke dosen dan mahasiswa lebih efektif dan efisien. Sejak berdirinya gedung ini pada 2002, kantor Dekanat, TU, dan Prodi-prodi serta ruang lain terpisah-pisah di lantai-lantai yang berbeda. Ini bagian dari upaya kami meletakkan landasan bagi tonggak-tonggak capaian tahun-tahun berikutnya. Kami ingin FAH berwibawa, punya brand dan karakter yang jelas, agar UIN Jakarta berwibawa. Kami ingin mahasiswa, yang itu adalah anak-anak kami, juga bangga menjadi anak didik FAH.

Bapak Rektor, dengan pemberhentian dini ini, saya, para karyawan dan mahasiswa umumnya, merasa seperti orang yang baru seperempat jalan menikmati makan bersama keluarga, lalu tiba-tiba Bapak mengambil hidangan tersaji yang sudah sangat sesuai dengan selera kami, dan memaksa kami untuk menikmati hidangan dengan menu lain, padahal selera makan kami pun sudah hilang karenanya.

Andai Bapak tahu, saya beserta pimpinan lain, staf, karyawan dan mahasiswa FAH sudah benar-benar menjadi keluarga yang harmonis, yang bahu membahu bekerja keras untuk rumah kami sendiri, untuk Fakultas, untuk mahasiswa anak-anak kami, untuk UIN, bekerja di luar jam kantor tanpa selalu dihitung lembur. Hasilnya? saya tidak ingin cerita secara subyektif Pak, mungkin Bapak bisa membaca saja testimoni publik, khususnya mahasiswa sebagai user, di Twitter dengan harshtag #TerimaKasihPakOman, niscaya Bapak akan mengetahui, apa yang dirasakan oleh publik saat menu hidangan kami Bapak ganti.

Bapak Rektor yang saya hormati,

Mohon maaf, saya bukan tidak memahami bahwa penggantian ini merupakan hak prerogratif Bapak berdasarkan Statuta baru Pasal 46 (1), yang mengatakan bahwa: “Dekan diangkat dan diberhentikan oleh Rektor atas nama Menteri”. Saya juga faham, ayat (3) Pasal tersebut menjelaskan bahwa: “Masa jabatan Dekan mengikuti masa jabatan Rektor, dan dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut”.

Sayangnya, ayat (2) Pasal tersebut yang berbunyi: “Pengangkatan Dekan didasarkan pada potensi dan kemampuan calon untuk meningkatkan kinerja dan mutu Fakultas di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”,  sepertinya Bapak abaikan, karena saya tidak pernah diuji publik, diuji kompetensi, atau diuji kinerja oleh Tim Bapak, dinilai, dan dibandingkan dengan nama lain yang Bapak terima. Saya langsung diganti saja oleh Dekan yang Bapak kehendaki, entah atas dasar pertimbangan apa.

Setahu saya, Dekan yang Bapak angkat bahkan belum pernah “memangku jabatan tambahan sebagai Wakil Rektor/Ketua Lembaga/Kepala Pusat/Wakil Dekan/Ketua Jurusan atau jabatan yang setara” seperti diamanahkan oleh Pasal 48 Statuta kita sendiri. Hal yang meloloskan yang bersangkutan dalam pertimbangan Senat Fakultas adalah karena menurut penjelasan LISAN staf Kepegawaian yang Bapak tugaskan untuk hadir dalam rapat senat tersebut, jabatan tambahan dimaksud bisa di dalam dan di luar Universitas, padahal, penjelasan itu tidak ada sama sekali untuk persyaratan calon Dekan, hanya berlaku untuk persyaratan calon Wakil Rektor seperti diatur dalam Pasal 31 ayat (f).

Interpretasi yang sungguh sangat dipaksakan. Pengalaman duduk sebagai salah satu Pusat Studi di Fakultas, yang sifatnya non-struktural dan lebih berupa “paguyuban ilmiah”, bahkan juga ditafsirkan sebagai jabatan tambahan, agar yang bersangkutan dapat dianggap memenuhi syarat: pernah menduduki jabatan serta lolos sebagai calon Dekan.

Mungkin suara Senat Fakultas kami juga “lemah”, terlalu “beradab” untuk berdebat kusir penafsiran ayat tentang syarat pernah menjabat itu. Atau mungkin sebagian dari anggota Senat kami sudah apatis, karena merupakan rahasia umum bahwa memang calon tertentu lah yang Bapak kehendaki. Apalagi, sehari sebelumnya (23/3), calon bersangkutan sudah menegaskan kepada saya, di ruang kerja saya waktu itu, bahwa tidak ada lagi posisi buatnya sebagai timses Bapak, selain menjadi Dekan di FAH.

Saya faham, ini memang dinamika politik, Pak. Tapi ini di kampus, institusi akademis, kami ingin politik yang lebih beradab.

Bapak Rektor yang saya hormati,

Periode jabatan Bapak memang baru mulai di tahun 2015 ini, sehingga atas nama statuta baru tersebut, masa jabatan para Dekan juga harus diperbaharui mengikuti masa jabatan Bapak. Sekali lagi Pak, bolehkah saya tahu, adakah alasan yang bisa saya fahami, mengapa Dekan yang baru menjabat 330 hari diberhentikan? sementara ada Dekan lain yang sudah menjabat hampir separuh periode, Bapak angkat kembali untuk 4 tahun ke depan?

Apakah kinerja saya seburuk dekan-dekan lain yang Bapak angkat kembali itu? Mohon maaf Pak, saya ingin tahu keburukan saya sendiri. Atau, apakah betul seperti yang menjadi gosip di luar bahwa pengangkatan tersebut semata karena faktor suka atau tidak suka? dan karena Bapak terikat dengan kesepakatan transaksi politik saat Pilrek? Saya berdoa tidak begitu.

Mengapa saya penasaran Pak? jujur bukan karena saya ingin mengambil alih kembali jabatan Dekan, karena ibarat hidangan makanan, selera makan saya juga sudah hilang. Ini semata karena, sependek pembacaan saya yang awam hukum, Pasal 52 Statuta kita mengatakan bahwa Dekan dan Wakil Dekan berhenti dari jabatannya karena: (a) telah berakhir masa jabatannya; (b) pengunduran diri atas permintaan sendiri; (c) diangkat dalam jabatan lain; (d) meninggal dunia; (e) melakukan tindakan tercela; (f) sakit jasmani atau rohani terus menerus; (g) dikenakan hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (h) menjadi terdakwa dan/atau terpidana yang diancam pidana penjara; atau (i) cuti di luar tanggungan negara.

Saya tidak menemukan ayat tambahan dalam Pasal tersebut, bahwa saya bisa diberhentikan karena alasan tidak memberikan suara dalam pemilihan calon Rektor kepada seorang calon yang kemudian terpilih sebagai Rektor Universitas.

Bapak Rektor,

Kini, saya dan beberapa kawan di kampus ini gelisah, karena kewenangan penuh yang diamanahkan oleh statuta baru kita kepada Rektor untuk mengangkat pejabat perangkatnya, termasuk dekan-dekan, ketua-ketua lembaga, serta kepala-kepala pusat dan UPT sepertinya sudah dilaksanakan dengan mengenyampingkan semangat keterbukaan yang diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kami gelisah dan khawatir, proses penggantian pejabat yang serba tertutup dan tidak aspiratif di kampus “pembaharu” ini malah bertentangan dengan semangat pengelolaan ASN seperti disebut dalam Pasal 1 (5) UU tersebut, yakni “untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Padahal, Pasal 108 UU ASN tersebut rasanya sudah terlalu gamblang menjelaskan bahwa pengisian jabatan Pimpinan di instansi Pemerintah seyogyanya “...dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.

Saya cemburu Pak, saat instansi di bawah Kementerian lain menawarkan lelang jabatan secara terbuka, mekanisme pengangkatan pejabat publik di kampus kita tercinta malah sama sekali tertutup, sehingga menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu terjadi, seperti aksi unjuk rasa yang kemarin (Senin 17/3) terjadi melibatkan ratusan mahasiswa dan dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) itu, padahal, kita berada di bawah sebuah Kementerian yang sangat identik dengan nilai-nilai moral dan integritas yang luhur, serta berpegang teguh pada budaya timur.

Bapak Rektor yang saya hormati,

Mungkin Bapak akan sederhana bergumam: “ah, Oman kan protes karena sakit hati saja kehilangan jabatan”. Saya tidak bisa mengelak dari kesan itu Pak. Tapi, saya menulis surat terbuka ini atas dasar kepedulian terhadap masa depan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, yang sedang terus berusaha menggapai mimpi-mimpi sebagai kampus berwibawa menuju World Class Research University, serta kepedulian atas masa depan pendidikan moral dan integritas mahasiswa kita dalam bermasyarakat dan berpolitik kelak. Selama ini, saya bersama para wadek, pejabat Prodi, dan jajaran karyawan FAH sebagai ujung tombak Universitas sangat bergairah bekerja untuk mendukung merealisasikan mimpi-mimpi tersebut.

Akan tetapi, dalam hitungan hari, tiba-tiba saja kami apatis dengan diri kami sendiri. Kami terkaget-kaget karena di satu sisi katanya Bapak “mengocok ulang” jabatan Dekan karena ingin menegakkan statuta. Akan tetapi di sisi lain, ada beberapa kebijakan Bapak terkait restrukturisasi ini yang sepertinya tidak sesuai dengan ayat dan Pasal dalam statuta itu sendiri. Di situ kadang saya merasa sedih, Pak.

Saya, misalnya, tidak mengerti apa pertimbangan Bapak mengangkat para pejabat yang dari segi kepangkatan belum memenuhi syarat minimal yang telah ditetapkan statuta (Lektor), seperti Kepala Pusat Penelitian yang bahkan belum memiliki jabatan fungsional karena masih berstatus Tenaga Pengajar (TP) dua tingkat di bawah syarat minimal, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) serta Kepala UPT Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data yang keduanya masih berstatus Asisten Ahli , satu tingkat di bawah syarat minimal. Bahkan, Bapak pun berani melantik Sekretaris Satuan Pemeriksa Internal (SPI) dari kalangan non PNS, tidak seperti yang diamanahkan oleh Pasal 44 (a) statuta kita.

Apakah Bapak memiliki pemahaman dan penjelasan tersendiri terkait ayat-ayat tersebut? atau apakah Bapak tutup mata saja dengan harapan tidak ada civitas akademika yang mempersoalkannya? mohon maaf Pak, saya kok tidak bisa tidur nyenyak sebelum mendapat penjelasan yang bisa diterima oleh akal sehat.

Sebagai figur yang pernah menduduki jabatan tinggi sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Islam di Kementerian Agama, agak mengherankan mengapa Bapak berani mengambil langkah-langkah yang riskan secara administratif ini? apakah Bapak memutuskan sudah atas dasar informasi yang sedetil-detilnya dengan persiapan penjelasan yang belum saya fahami? ataukah ada pembisik-pembisik Bapak yang siap pasang badan lalu menyembunyikan fakta? Saya berdoa, semoga ini karena Bapak sedang khilaf saja.

Bapak Rektor,

Akhirnya, saya mohon maaf telah memberanikan diri menulis surat terbuka ini, karena saya merasa bahwa sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), kita semua terikat dengan Asas, Prinsip, Nilai Dasar, serta Kode Etik dan Kode Perilaku dalam Undang-undang ASN tersebut, yang salah satu Pasalnya (Bab II Pasal 2) menjelaskan bahwa “Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas, akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminatif, persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan, dan kesejahteraan”, bukan atas dasar suka atau tidak suka, bukan juga atas dasar bagi-bagi jabatan kepada para loyalis kita.

Demikian, semoga Bapak berkenan menjelaskan.

Ciputat, 18 Maret 2015
Oman Fathurahman
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Homepage : http://ofathurahman.lec.uinjkt.ac.id
Twitter  : @ofathurahman

0 Responses

Posting Komentar

About

Random Post