Unknown

Ciputat, 18 Maret 2015

Nomor  : Istimewa      
Hal          : Surat Terbuka untuk Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Kepada Yth.
Bapak Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Prof. Dr. Dede Rosyada, M.A.

Cc.
Menteri Agama Republik Indonesia
Ketua Senat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Ketua Senat Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Assalamu’alaikum wr. wb.

Bapak Rektor yang saya hormati,

Saya sudah menerima dan membaca Surat Keputusan (SK) pemberhentian saya sebagai Dekan FAH periode 2014-2018, yang Bapak tandatangani atas nama Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 145 Tahun 2015, tertanggal 9 Maret 2015.

Jujur saya sedih! Bukan karena saya kehilangan jabatan Dekan itu, tapi karena Bapak tidak menyapa saya satu “huruf” pun terkait pemberhentian itu, baik melaui SMS, email, telpon, apalagi sapaan langsung saat saya beberapa kali menemui dan menghadap Bapak, baik untuk keperluan dinas maupun pribadi, padahal saya mendapatkan amanah jabatan ini melalui cara terhormat, terpilih secara demokratis di Senat Fakultas pada 11 Maret 2014 lalu. 

Tapi itu memang hak Bapak. Sepertinya Bapak memang sudah benar-benar tidak ingin menyapa saya terkait urusan itu, mungkin karena saya tiba-tiba menjadi “Dekan haram”, yang lahir dari Statuta UIN lama yang sudah diwafatkan keberlakuannya oleh Permenag No. 17 Tahun 2014.

Saya sepertinya juga harus mafhum, karena berdasarkan pengakuan-pengakuan pihak terkait, bukan hanya saya yang tidak disapa oleh Bapak, melainkan beberapa Dekan dan pejabat lain termasuk Direktur Sekolah Pascasarjana, Prof. Dr. Azyumardi Azra yang sedemikian senior beserta jajarannya, bahkan merasa tersinggung karena tidak menerima pemberitahuan, baik melalui email, surat, telpon, atau sms, bahwa mereka akan diberhentikan, dan diganti oleh pejabat lain.

Entah Bapak tahu atau tidak, sejak awal pembentukan Panitia Seleksi (Pansel) Dekan, saya, dan beberapa dekan Fakultas serta Direktur Sekolah Pascasarjana sebagai pemegang otoritas manajemen di unit masing-masing tidak pernah diajak bicara sedetikpun oleh Pansel yang Bapak angkat itu. Pansel melakukan jalan pintas berkordinasi dengan wakil Dekan Bidang Administrasi Umum kami, beserta Ketua dan Sekretaris Senat Fakultas yang diangkat sebagai anggota Pansel. Sekali lagi, mungkin karena saya sudah dianggap “Dekan haram”, yang sudah diniatkan untuk dilengserkan.

Bapak Rektor,

Melalui surat ini, saya hanya ingin bertanya satu hal: bolehkah saya tahu, apa alasan pemberhentian saya? Saya yakin, informasi terkait alasan pemberhentian ini adalah bagian dari Informasi Publik, yang dilindungi oleh Undang-undang RI No. 14 Tahun 2008, karena jabatan Dekan adalah bagian dari Badan Publik, yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan Negara, dan karenanya publik berhak tahu. Itu mengapa saya pun menulis surat ini secara terbuka, karena saya tidak sedang menyapa dengan Bapak secara pribadi.

Mengapa saya ingin bertanya, Pak? karena seusai dilantik pada 14 April 2014, dan sesuai dengan amanat dalam SK yang ditandatangani oleh Rektor atas nama Menteri Agama RI Nomor UN.01/R/HK.005/154/2014, saya telah mencanangkan tonggak capaian (milestone) Fakultas Adab dan Humaniora untuk masa jabatan 4 (empat) tahun ke depan dengan rumusan visi “Menuju e-Faculty Berbasis Riset dan Berkarakter Islam Nusantara”, dan dengan prioritas tahunan yang jelas serta terukur. Capaian tahun pertama (2014) sudah kami buktikan dan mendapat apresiasi dari keluarga besar civitas akademika FAH.

Bapak Rektor, hingga saya menulis surat ini, rumusan visi, milestone, prioritas tahunan, serta turunan semua program dan kegiatan di tahun kedua ini masih tertempel dalam ukuran besar di dinding lantai 5 FAH, agar seluruh civitas akademika faham, mau dibawa kemana Fakultas ini dalam empat tahun ke depan. Saya tidak tahu, akan berapa lama konsep pengembangan FAH itu tersosialisasi di sana, karena hal itu tergantung dari “selera” Dekan baru yang Bapak angkat.

Sekali-sekali, Bapak boleh mampir ke gedung kami. Sejak Agustus 2014 lalu, kantor FAH sudah menyatu dengan konsep Manajemen Satu Lantai, Pak, sehingga pelayanan ke dosen dan mahasiswa lebih efektif dan efisien. Sejak berdirinya gedung ini pada 2002, kantor Dekanat, TU, dan Prodi-prodi serta ruang lain terpisah-pisah di lantai-lantai yang berbeda. Ini bagian dari upaya kami meletakkan landasan bagi tonggak-tonggak capaian tahun-tahun berikutnya. Kami ingin FAH berwibawa, punya brand dan karakter yang jelas, agar UIN Jakarta berwibawa. Kami ingin mahasiswa, yang itu adalah anak-anak kami, juga bangga menjadi anak didik FAH.

Bapak Rektor, dengan pemberhentian dini ini, saya, para karyawan dan mahasiswa umumnya, merasa seperti orang yang baru seperempat jalan menikmati makan bersama keluarga, lalu tiba-tiba Bapak mengambil hidangan tersaji yang sudah sangat sesuai dengan selera kami, dan memaksa kami untuk menikmati hidangan dengan menu lain, padahal selera makan kami pun sudah hilang karenanya.

Andai Bapak tahu, saya beserta pimpinan lain, staf, karyawan dan mahasiswa FAH sudah benar-benar menjadi keluarga yang harmonis, yang bahu membahu bekerja keras untuk rumah kami sendiri, untuk Fakultas, untuk mahasiswa anak-anak kami, untuk UIN, bekerja di luar jam kantor tanpa selalu dihitung lembur. Hasilnya? saya tidak ingin cerita secara subyektif Pak, mungkin Bapak bisa membaca saja testimoni publik, khususnya mahasiswa sebagai user, di Twitter dengan harshtag #TerimaKasihPakOman, niscaya Bapak akan mengetahui, apa yang dirasakan oleh publik saat menu hidangan kami Bapak ganti.

Bapak Rektor yang saya hormati,

Mohon maaf, saya bukan tidak memahami bahwa penggantian ini merupakan hak prerogratif Bapak berdasarkan Statuta baru Pasal 46 (1), yang mengatakan bahwa: “Dekan diangkat dan diberhentikan oleh Rektor atas nama Menteri”. Saya juga faham, ayat (3) Pasal tersebut menjelaskan bahwa: “Masa jabatan Dekan mengikuti masa jabatan Rektor, dan dapat diangkat kembali dengan ketentuan tidak boleh lebih dari dua kali masa jabatan berturut-turut”.

Sayangnya, ayat (2) Pasal tersebut yang berbunyi: “Pengangkatan Dekan didasarkan pada potensi dan kemampuan calon untuk meningkatkan kinerja dan mutu Fakultas di bidang pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”,  sepertinya Bapak abaikan, karena saya tidak pernah diuji publik, diuji kompetensi, atau diuji kinerja oleh Tim Bapak, dinilai, dan dibandingkan dengan nama lain yang Bapak terima. Saya langsung diganti saja oleh Dekan yang Bapak kehendaki, entah atas dasar pertimbangan apa.

Setahu saya, Dekan yang Bapak angkat bahkan belum pernah “memangku jabatan tambahan sebagai Wakil Rektor/Ketua Lembaga/Kepala Pusat/Wakil Dekan/Ketua Jurusan atau jabatan yang setara” seperti diamanahkan oleh Pasal 48 Statuta kita sendiri. Hal yang meloloskan yang bersangkutan dalam pertimbangan Senat Fakultas adalah karena menurut penjelasan LISAN staf Kepegawaian yang Bapak tugaskan untuk hadir dalam rapat senat tersebut, jabatan tambahan dimaksud bisa di dalam dan di luar Universitas, padahal, penjelasan itu tidak ada sama sekali untuk persyaratan calon Dekan, hanya berlaku untuk persyaratan calon Wakil Rektor seperti diatur dalam Pasal 31 ayat (f).

Interpretasi yang sungguh sangat dipaksakan. Pengalaman duduk sebagai salah satu Pusat Studi di Fakultas, yang sifatnya non-struktural dan lebih berupa “paguyuban ilmiah”, bahkan juga ditafsirkan sebagai jabatan tambahan, agar yang bersangkutan dapat dianggap memenuhi syarat: pernah menduduki jabatan serta lolos sebagai calon Dekan.

Mungkin suara Senat Fakultas kami juga “lemah”, terlalu “beradab” untuk berdebat kusir penafsiran ayat tentang syarat pernah menjabat itu. Atau mungkin sebagian dari anggota Senat kami sudah apatis, karena merupakan rahasia umum bahwa memang calon tertentu lah yang Bapak kehendaki. Apalagi, sehari sebelumnya (23/3), calon bersangkutan sudah menegaskan kepada saya, di ruang kerja saya waktu itu, bahwa tidak ada lagi posisi buatnya sebagai timses Bapak, selain menjadi Dekan di FAH.

Saya faham, ini memang dinamika politik, Pak. Tapi ini di kampus, institusi akademis, kami ingin politik yang lebih beradab.

Bapak Rektor yang saya hormati,

Periode jabatan Bapak memang baru mulai di tahun 2015 ini, sehingga atas nama statuta baru tersebut, masa jabatan para Dekan juga harus diperbaharui mengikuti masa jabatan Bapak. Sekali lagi Pak, bolehkah saya tahu, adakah alasan yang bisa saya fahami, mengapa Dekan yang baru menjabat 330 hari diberhentikan? sementara ada Dekan lain yang sudah menjabat hampir separuh periode, Bapak angkat kembali untuk 4 tahun ke depan?

Apakah kinerja saya seburuk dekan-dekan lain yang Bapak angkat kembali itu? Mohon maaf Pak, saya ingin tahu keburukan saya sendiri. Atau, apakah betul seperti yang menjadi gosip di luar bahwa pengangkatan tersebut semata karena faktor suka atau tidak suka? dan karena Bapak terikat dengan kesepakatan transaksi politik saat Pilrek? Saya berdoa tidak begitu.

Mengapa saya penasaran Pak? jujur bukan karena saya ingin mengambil alih kembali jabatan Dekan, karena ibarat hidangan makanan, selera makan saya juga sudah hilang. Ini semata karena, sependek pembacaan saya yang awam hukum, Pasal 52 Statuta kita mengatakan bahwa Dekan dan Wakil Dekan berhenti dari jabatannya karena: (a) telah berakhir masa jabatannya; (b) pengunduran diri atas permintaan sendiri; (c) diangkat dalam jabatan lain; (d) meninggal dunia; (e) melakukan tindakan tercela; (f) sakit jasmani atau rohani terus menerus; (g) dikenakan hukuman disiplin sesuai dengan ketentuan yang berlaku; (h) menjadi terdakwa dan/atau terpidana yang diancam pidana penjara; atau (i) cuti di luar tanggungan negara.

Saya tidak menemukan ayat tambahan dalam Pasal tersebut, bahwa saya bisa diberhentikan karena alasan tidak memberikan suara dalam pemilihan calon Rektor kepada seorang calon yang kemudian terpilih sebagai Rektor Universitas.

Bapak Rektor,

Kini, saya dan beberapa kawan di kampus ini gelisah, karena kewenangan penuh yang diamanahkan oleh statuta baru kita kepada Rektor untuk mengangkat pejabat perangkatnya, termasuk dekan-dekan, ketua-ketua lembaga, serta kepala-kepala pusat dan UPT sepertinya sudah dilaksanakan dengan mengenyampingkan semangat keterbukaan yang diamanahkan oleh Undang-undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Kami gelisah dan khawatir, proses penggantian pejabat yang serba tertutup dan tidak aspiratif di kampus “pembaharu” ini malah bertentangan dengan semangat pengelolaan ASN seperti disebut dalam Pasal 1 (5) UU tersebut, yakni “untuk menghasilkan pegawai ASN yang profesional, memiliki nilai dasar, etika profesi, bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme”.

Padahal, Pasal 108 UU ASN tersebut rasanya sudah terlalu gamblang menjelaskan bahwa pengisian jabatan Pimpinan di instansi Pemerintah seyogyanya “...dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.

Saya cemburu Pak, saat instansi di bawah Kementerian lain menawarkan lelang jabatan secara terbuka, mekanisme pengangkatan pejabat publik di kampus kita tercinta malah sama sekali tertutup, sehingga menimbulkan kegaduhan-kegaduhan yang tidak perlu terjadi, seperti aksi unjuk rasa yang kemarin (Senin 17/3) terjadi melibatkan ratusan mahasiswa dan dosen Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) itu, padahal, kita berada di bawah sebuah Kementerian yang sangat identik dengan nilai-nilai moral dan integritas yang luhur, serta berpegang teguh pada budaya timur.

Bapak Rektor yang saya hormati,

Mungkin Bapak akan sederhana bergumam: “ah, Oman kan protes karena sakit hati saja kehilangan jabatan”. Saya tidak bisa mengelak dari kesan itu Pak. Tapi, saya menulis surat terbuka ini atas dasar kepedulian terhadap masa depan kampus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini, yang sedang terus berusaha menggapai mimpi-mimpi sebagai kampus berwibawa menuju World Class Research University, serta kepedulian atas masa depan pendidikan moral dan integritas mahasiswa kita dalam bermasyarakat dan berpolitik kelak. Selama ini, saya bersama para wadek, pejabat Prodi, dan jajaran karyawan FAH sebagai ujung tombak Universitas sangat bergairah bekerja untuk mendukung merealisasikan mimpi-mimpi tersebut.

Akan tetapi, dalam hitungan hari, tiba-tiba saja kami apatis dengan diri kami sendiri. Kami terkaget-kaget karena di satu sisi katanya Bapak “mengocok ulang” jabatan Dekan karena ingin menegakkan statuta. Akan tetapi di sisi lain, ada beberapa kebijakan Bapak terkait restrukturisasi ini yang sepertinya tidak sesuai dengan ayat dan Pasal dalam statuta itu sendiri. Di situ kadang saya merasa sedih, Pak.

Saya, misalnya, tidak mengerti apa pertimbangan Bapak mengangkat para pejabat yang dari segi kepangkatan belum memenuhi syarat minimal yang telah ditetapkan statuta (Lektor), seperti Kepala Pusat Penelitian yang bahkan belum memiliki jabatan fungsional karena masih berstatus Tenaga Pengajar (TP) dua tingkat di bawah syarat minimal, Kepala Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) serta Kepala UPT Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data yang keduanya masih berstatus Asisten Ahli , satu tingkat di bawah syarat minimal. Bahkan, Bapak pun berani melantik Sekretaris Satuan Pemeriksa Internal (SPI) dari kalangan non PNS, tidak seperti yang diamanahkan oleh Pasal 44 (a) statuta kita.

Apakah Bapak memiliki pemahaman dan penjelasan tersendiri terkait ayat-ayat tersebut? atau apakah Bapak tutup mata saja dengan harapan tidak ada civitas akademika yang mempersoalkannya? mohon maaf Pak, saya kok tidak bisa tidur nyenyak sebelum mendapat penjelasan yang bisa diterima oleh akal sehat.

Sebagai figur yang pernah menduduki jabatan tinggi sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Islam di Kementerian Agama, agak mengherankan mengapa Bapak berani mengambil langkah-langkah yang riskan secara administratif ini? apakah Bapak memutuskan sudah atas dasar informasi yang sedetil-detilnya dengan persiapan penjelasan yang belum saya fahami? ataukah ada pembisik-pembisik Bapak yang siap pasang badan lalu menyembunyikan fakta? Saya berdoa, semoga ini karena Bapak sedang khilaf saja.

Bapak Rektor,

Akhirnya, saya mohon maaf telah memberanikan diri menulis surat terbuka ini, karena saya merasa bahwa sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN), kita semua terikat dengan Asas, Prinsip, Nilai Dasar, serta Kode Etik dan Kode Perilaku dalam Undang-undang ASN tersebut, yang salah satu Pasalnya (Bab II Pasal 2) menjelaskan bahwa “Penyelenggaraan kebijakan dan Manajemen ASN berdasarkan pada asas kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas, akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminatif, persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraan, dan kesejahteraan”, bukan atas dasar suka atau tidak suka, bukan juga atas dasar bagi-bagi jabatan kepada para loyalis kita.

Demikian, semoga Bapak berkenan menjelaskan.

Ciputat, 18 Maret 2015
Oman Fathurahman
Guru Besar Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Homepage : http://ofathurahman.lec.uinjkt.ac.id
Twitter  : @ofathurahman

Unknown


1.    Paradigma Penelitian
Metodologi penelitian adalah totalitas cara yang dipakai peneliti untuk menemukan kebenaran ilmiah. Kebenaran adalah kebenaran. Cara adalah cara. Tetapi seringkali peneliti mempunyai cara pandang yang berbeda terhadap kebenaran dibandingkan dengan penelitian lain. Jika cara pandang terhadap kebenaran ini di perbeda, maka metodologi yang digunakan kemungkinan berbeda. Inilah yang disebut dengan paradigma.
Paradima adalah cara pandang atau melihat sesuatu yang hidup dalam diri seseorang dan mempengaruhi orang tersebut dalam memandang realitas sekitarnya. Paradigma penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu atau teori yang dikonstruksi sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah penelitian (Guba & Lincoln, 1988: 89-115).
Mengacu pada definisi paradigma tersebut, terungkap bahwa paradigma ilmu itu amat beragam, hal ini didasarkan pada pandangan dan pemikiran filsafat yang dianut oleh masing-masing ilmuwan berbeda-beda. Dimana, masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan tersebut, kemudian berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut, baik menyangkut tentang hakikat apa yang harus dipelajari, obyek yang diamati, atau metode yang digunakan. Perbedaan paradigma yang dianut para ilmuan ternyata tidak hanya berakibat pada perbedaan skema konseptual penelitian, melainkan juga pada pendekatan yang melandasi semua proses dan kegiatan penelitian.
Istilah paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn (1962), dan kemudian dipopulerkan oleh Robert Friedrichs (1970). Menurut Kuhn, paradigma adalah cara mengetahui realitas sosial yang dikonstruksi oleh mode of thought atau mode of inquiry tertentu, yang kemudian menghasilkan mode of knowing yang spesifik. Definisi tersebut dipertegas oleh Friedrichs (1980), sebagai suatu pandangan yang mendasar dari suatu disiplin ilmu tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari. Pengertian lain dikemukakan oleh George Ritzer, dengan menyatakan paradigma sebagai pandangan yang mendasar dari para ilmuan tentang apa yang menjadi pokok persoalan yang semestinya dipelajari oleh salah satu cabang/disiplin ilmu pengetahuan.
            Norman K. Denzin membagi paradigma kepada tiga elemen yang meliputi; epistemologi, ontologi, dan metodologi.
1.      Epistemologi mempertanyakan tentang bagimana cara kita mengetahui sesuatu, dan apa hubungan antara peneliti dengan pengetahuan.
2.      Ontologi berkaitan dengan pertanyaan dasar tentang hakikat realitas.
3.      Metodologi memfocuskan pada bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan
Dari definisi dan muatan paradigma ini, Zamroni mengungkapkan tentang posisi paradigma sebagai alat bantu bagi ilmuwan untuk merumuskan berbagai hal yang berkaitan dengan; (1) apa yang harus dipelajari; (2) persoalan-persoalan apa yang harus dijawab; (3) bagaimana metode untuk menjawabnya; dan (4) aturan-aturan apa yang harus diikuti dalam menginterpretasikan informasi yang diperoleh.
Menurut Kuhn, perkembangan ilmu tidak selalu berjalan linear, karena itu tidak benar kalau dikatakan perkembangan ilmu itu bersifat kumulatif. Penolakan Kuhn didasarkan pada hasil analisisnya terhadap perkembangan ilmu itu sendiri yang ternyata sangat berkait dengan dominasi paradigma keilmuan yang muncul pada periode tertentu. Bahkan bisa terjadi dalam satu waktu, beberapa metode pengetahuan berkembang bersamaan dan masing-masing mengembangkan disiplin keilmuan yang sama dengan paradigma yang berlainan. Perbedaan paradigma dalam mengembangkan pengetahuan, menurut Kuhn, akan melahirkan pengetahuan yang berbeda pula. Sebab bila cara berpikir (mode of thought) para ilmuwan berbeda satu sama lain dalam menangkap suatu realitas, maka dengan sendirinya pemahaman mereka tentang realitas itu juga menjadi beragam. Konsekwensi terjauh dari perbedaan mode of thought ini adalah munculnya keragaman skema konseptual pengembangan pengetahuan yang kemudian berakibat pula pada keragaman teori-teori yang dihasilkan.
Mengacu pada Kuhn, dapat dikatakan bahwa paradigma ilmu itu amat beragam. Keragaman paradigma ini pada dasarnya adalah akibat dari perkembangan pemikiran filsafat yang berbeda-beda sejak zaman Yunani. Sebab sudah dapat dipastikan, bahwa pengetahuan yang didasarkan pada filsafat Rasionalisme akan berbeda dengan yang didasarkan Empirisme, dan berbeda dengan Positivisme, Marxisme dan seterusnya, karena masing-masing aliran filsafat tersebut memiliki cara pandang sendiri tentang hakikat sesuatu serta memiliki ukuran-ukuran sendiri tentang kebenaran. Menurut Ritzer (1980), perbedaan aliran filsafat yang dijadikan dasar berpikir oleh para ilmuwan akan berakibat pada perbedaan paradigma yang dianut. Paling tidak terdapat tiga alasan untuk mendukung asumsi ini; (1) pandangan filsafat yang menjadi dasar ilmuwan untuk menentukan tentang hakikat apa yang harus dipelajari sudah berbeda; (2) pandangan filsafat yang berbeda akan menghasilkan obyek yang berbeda; dan (3) karena obyek berbeda, maka metode yang digunakan juga berbeda.
Dalam hubungannya dengna metodologi peneltian, paradigma yang dimiliki peneliti pasti akan memperngaruhi metodologi penelitian yang akan dipillihnya. Seperti yang kita kenal dengan metodologi yang bernuansa kualitatif, kuantitatif, humanis, partikularis, multiperspektif, positivis dan lainnya. Atau yang dikenal dengan  penelitian deskriptif, eksploratoris, eksplanatif, korelasional, kausal rasionalis, relativis dan sebagainya. Namun secara umum, paradigma penelitian diklasifikasikan dalam 2 kelompok yaitu penelitian kuantitatif dan penelitian kualitatif. Pendekatan  kuantitatif dibangun berlandaskan paradigma positivisme dari August Comte (1798-1857), sedangkan penelitian kualitatif dibangun berlandaskan paradigma fenomenologis dari Edmund Husserl (1859-1926).
Pendekatan kuantitatif merupakan satu pendekatan penelitian yang dibangun berdasarkan filsafat positivisme. Positivisme adalah satu aliran filsafat yang menolak unsur metafisik dan teologik dari realitas sosial. Paradigma ini disebut juga dengan paradigma tradisional (traditional), eksperimental (experimental), atau empiris (empiricist). Dalam penelitian kuantitatif diyakini, bahwa satu-satunya pengetahuan (knowledge) yang valid adalah ilmu pengetahuan (science), yaitu pengetahuan yang berawal dan didasarkan pada pengalaman (experience) yang tertangkap lewat pancaindera untuk kemudian diolah oleh nalar (reason).
Sementara penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah satu model penelitian humanistik, yang menempatkan manusia sebagai subyek utama dalam peristiwa sosialatau budaya. Sifat humanis dari aliran pemikiran ini terlihat dari pandangan tentang posisi manusia sebagai penentu utama perilaku individu dan gejala sosial. Pendekatan kualitatif lahir dari akar filsafat aliran fenomenologi hingga terbentuk paradigma post positivisme.
http://sambasalim.com/wp-content/uploads/2010/12/Untitled1.jpg
Pendekatan ini memandang bahwa realitas sosial yang tampak sebagai suatu fenomena dianggap sesuatu yang ganda (jamak). Artinya realitas yang tampak memiliki makna ganda, yang menyebabkan terjadinya realitas tadi. McMillan dan Schumacher (2001:396) menyebut realitas sosial dalam penelitian kualitatif ini sebagai: “…reality as multilayer, interactive, and a shared social experience interpreted by indviduals”.
Dengan demikian dalam penelitian kualitatif, realitas sosial yang terjadi atau tampak, jawabannya tidak cukup dicari sampai apa yang menyebabkan realitas tadi, tetapi dicari sampai kepada makna dibalik terjadinya realitas sosial yang tampak. Oleh karena itu, untuk dapat memperoleh makna dari realitas sosial yang terjadi, pada tahap pengumpulan data perlu dilakukan secara tatap muka langsung dengan individu atau kelompok yang dipilih sebagai responden atau informan yang dianggap mengetahui atau pahami tentang entitas tertentu seperti: kejadian, orang, proses, atau objek, berdasarkan cara pandang, persepsi, dan sistem keyakinan yang mereka miliki. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh McMillan dan Schumacher (2001:395), bahwa: “Interactive qualitative research is inquary in which researhers collect data in face to face situations by interacting with selected persons in their settings (field research). Qualitative research describes and analyzes people’s individual and collective social actions, beliefs, thoughts, and perceptions. The researcher interprets phenomena in term of meanings people bring to them”.
Menurut Indiantoro & Supomo masing-masing paradigma atau pendekatan ini mempunyai kelebihan dan juga kelemahan, sehingga untuk menentukan pendekatan atau paradigma yang akan digunakan dalam melakukan penelitian tergantung pada beberapa hal di antaranya;
1.        Jika ingin melakukan suatu penelitian yang lebih rinci yang menekankan pada aspek detail yang kritis dan menggunakan cara studi kasus, maka pendekatan yang sebaiknya dipakai adalah paradigma kualitatif. Jika penelitian yang dilakukan untuk mendapat kesimpulan umum dan hasil penelitian didasarkan pada pengujian secara empiris, maka sebaiknya digunakan paradigma kuantitatif
2.        Jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang penerapannya luas dengan obyek penelitian yang banyak, maka paradigma kuantitaif yang lebih tepat, dan jika penelitian ingin menjawab pertanyaan yang mendalam dan detail khusus untuk satu obyek penelitian saja, maka pendekatan naturalis lebih baik digunakan.

Paradigma Kuantitatif, juga dikenal dengan;
a.     paradigma tradisional, positivis, eksperimental, empiris
b.    menekankan pada pengujian teori-teori melalui pengukuran variabel penelitian  dengan angka dan melakukan analisis data dengan prosedur statistik.
Paradigma Kualitatif, juga dikenal dengan;
a.    pendekatan konstruktifis, naturalistis (interpretatif), atau perspektif postmodern.
b.    menekankan pada pemahaman mengenai masalah-masalah dalam kehidupan sosial berdasarkan kondisi realitas

KUANTITATIF
         Realitas bersifat obyektif dan berdimensi tunggal
         Peneliti independen terhadap fakta yang diteliti
         Bebas nilai dan tidak bias
         Pendekatan deduktif
         Pengujian teori dan analisis kuantitatif
KUALITATIF
         Realitas bersifat subyektif dan berdimensi banyak
         Peneliti berinteraksi dengan fakta yang diteliti
         Tidak bebas nilai dan bias
         Pendekatan induktif
         Penyusunan teori dengan analisis kualitatif


Lebih lanjut perbedaan paradigma kedua jenis penelitian ini dapat dielaborasi sebagai berikut:
Paradigma Kuantitatif

Paradigma Kualitatif

1.    Cenderung menggunakan metode kuantitatif, dalam pengumpulan dan analisa data, termasuk dalam penarikan sampel.
2.    Lebih menenkankan pada proses berpikir positivisme-logis, yaitu suatu cara berpikir yang ingin menemukan fakta atau sebab dari sesuatu kejadian dengan mengesampingkan keadaan subyektif dari individu di dalamnya.
3.    Peneliti cenderung ingin menegakkan obyektifitas yang tinggi, sehingga dalam pendekatannya menggunakan pengaturan-pengaturan secara ketat (obstrusive) dan berusaha mengendalikan stuasi (controlled).
4.    Peneliti berusaha menjaga jarak dari situasi yang diteliti, sehingga peneliti tetap berposisi sebagai orang “luar” dari obyek penelitiannya.
5.    Bertujuan untuk menguji suatu teori/pendapat untuk mendapatkan kesimpulan umum (generasilisasi) dari sampel yang ditetapkan.
6.    Berorientasi pada hasil, yang berarti juga kegiatan pengumpulan data lebih dipercayakan pada intrumen (termasuk pengumpul data lapangan).
7.    Keriteria data/informasi lebih ditekankan pada segi realibilitas dan biasanya cenderung mengambil data konkrit (hard fact).
8.    Walaupun data diambil dari wakil populasi (sampel), namun selalu ditekankan pada pembuatan generalisasi.
9.    Fokus yang diteliti sangat spesifik (particularistik) berupa variabel-variabel tertentu saja. Jadi tidak bersifat holistik.
1.     Cenderung menggunakan metode kualitatif, baik dalam pengumpulan maupun dalam proses analisisnya.
2.     Lebih mementingkan penghayat-an dan pengertian dalam menangkap gejala (fenomenologis).
3.     Pendekatannya wajar, dengan menggunakan pengamatan yang bebas (tanpa pengaturan yang ketat).
4.     Lebih mendekatkan diri pada situasi dan kondisi yang ada pada sumber data, dengan berusaha menempatkan diri serta berpikir dari sudut pandang “orang dalam”.
5.     Bertujuan untuk menemukan teori dari lapangan secara deskriptif dengan menggunakan metode berpikir induktif. Jadi bukan untuk menguji teori atau hipotesis.
6.     Berorientasi pada proses, dengan mengandalkan diri peneliti sebagai instrumen utama. Hal ini dinilai cukup penting karena dalam proses itu sendiri dapat sekaligus terjadi kegiatan analisis, dan pengambilan keputusan.
7.     Keriteria data/informasi lebih menekankan pada segi validitasnya, yang tidak saja mencakup fakta konkrit saja melainkan juga informasi simbolik atau abstrak.
8.     Ruang lingkup penelitian lebih dibatasi pada kasus-kasus singular, sehingga tekannya bukan pada segi generalisasinya melainkan pada segi otensitasnya.
9.     Fokus penelitian bersifat holistik,meliputi aspek yang cukup luas (tidak dibatasi pada variabel tertentu).

2.    Karakteristik Penelitian
Penelitian adalah suatu proses untuk mencapai (secara sistematis dan didukung oleh data) jawaban terhadap suatu pertanyaan, penyelesaian terhadap permasalahan, atau pemahaman yang dalam terhadap suatu fenomena. Proses tersebut, yang sering disebut sebagai metodologi penelitian, mempunyai delapan macam karakteristik:
a.       Penelitian dimulai dengan suatu pertanyaan atau permasalahan.
b.       Penelitian memerlukan pernyataan yang jelas tentang tujuan.
c.        Penelitian mengikuti rancangan prosedur yang spesifik.
d.       Penelitian biasanya membagi permasalahan utama menjadi sub-sub masalah yang lebihdapat dikelola.
e.        Penelitian diarahkan oleh permasalahan, pertanyaan, atau hipotesis penelitian yang spesifik.
f.        Penelitian menerima asumsi kritis tertentu.
g.        Penelitian memerlukan pengumpulan dan interpretasi data dalam upaya untuk mengatasi permasalahan yang mengawali penelitian.
h.       Penelitian adalah, secara alamiahnya, berputar secara siklus; atau lebih tepatnya, helikal—seperti terlihat pada gambar di bawah ini.

Sumber

Ali Muhidin, Sambas. dkk.2010. Desain Penelitian Kuantitatif.. Bandung: Penerbit Karya Adhika Utama.

http://polres.multiply.com/journal/item/9. (DARI: PUSAT PENELITIAN IAIN SUMATRA UTARA MEDAN) diakses 27 Agustus 2011

Irwan Prasetya. 1999. Logika dan Prosedur Penelitian. Jakarta:STIA-LAN

About

Random Post